Sebelum pertama kali melangkah ke atas panggung sebagai dalang, penulis merasa terpanggil untuk sowan, menyampaikan niat, dan memohon restu kepada sosok yang diyakini sebagai guru spiritual: Eyang Imam Sujono. Di kalangan para penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, beliau dikenal sebagai tokoh leluhur yang telah wafat ratusan tahun silam namun diyakini masih bersemayam di pertapaannya. Tempat sunyi itu bukan sekadar lokasi fisik, melainkan ruang batin tempat menyambung rasa dan membuka jalur ruhani.
Dalam pertemuan batin yang sulit dijelaskan dengan logika, Eyang Imam Sujono memberikan wejangan penting. Dengan suara pelan terdengar telinga, tapi menggema kuat di sanubari, beliau menyampaikan pesan sakral: ada dua lakon wayang yang tidak boleh dimainkan oleh penulis dalam pentas mendatang, Sukma Nglembara dan Semar Tigas Kuncung. Lakon pertama berkisah tentang sukma yang meninggalkan raga untuk menjelajah alam-alam gaib. Sementara lakon kedua menggambarkan Semar, sang punakawan agung, yang mengembara dan mengubah identitasnya dengan memotong kuncung, simbol jatidiri dan kesaktian.
Larangan itu bukan tanpa makna. Kedua lakon tersebut dipercaya menyimpan daya gaib yang tinggi dan mengandung risiko spiritual bagi dalang yang belum cukup matang secara batin. Pesan Eyang adalah pengingat bahwa mendalang bukan sekadar pertunjukan, melainkan laku spiritual yang menuntut kehati-hatian, kesucian niat, dan kerendahan hati.
Eyang Sujono duduk bersisian dengan sang istri, keduanya tampak menyatu dalam ketenangan usia senja. Tubuh Eyang kecil dan bersih, rapi tanpa cela. Rambut putihnya tergerai panjang, memantulkan cahaya sore yang lembut seperti benang-benang perak. Jari-jemarinya nyaris serupa satu sama lain, lurus, seakan dipahat dari kayu tua yang sama. Karena itulah orang-orang memanggilnya dengan penuh hormat: Eyang Papak.
Saya duduk menunduk dalam diam, tak berani menatap langsung wajah beliau. Dalam budaya kami, terutama saat pisowanan atau berhadapan dengan orang tua yang dimuliakan, adab lebih tinggi daripada keberanian. Hening terasa sakral, seolah waktu berhenti untuk memberi ruang pada kebijaksanaan yang tak terucap. Dari kejauhan, saya merasa sedang menatap masa lalu yang hidup, yang lembut, dan yang penuh makna, tertanam dalam diri seseorang yang telah melihat dunia dengan mata batin yang jernih.
Dengan penuh kasih, Eyang Papak mengulurkan tangan yang renta, menyodorkan tiga batu kerikil kecil dan sehelai sapu tangan lusuh. “Ini untuk kamu,” ucapnya lembut, matanya teduh menyimpan ribuan cerita. Bagi orang lain, mungkin itu hanya benda remeh, tapi bagiku, ia adalah warisan tak ternilai.
Bertahun-tahun aku menyimpannya dalam diam, dalam laci kenangan yang tak pernah benar-benar tertutup. Entah kapan dan di mana, kedua benda itu akhirnya menghilang, namun makna dan kehangatan dari pemberian Eyang tetap tinggal, abadi dalam ingatan, mengendap dalam hati seperti doa yang tak pernah selesai diucapkan.
Malam satu Suro akhirnya tiba, menyelimuti desa dalam keheningan yang sarat makna. Malam yang sakral, penuh nuansa mistis dan spiritual. Di tengah remang-remang cahaya lampu, saya dipersiapkan untuk malam penting itu. Tubuhku dimandikan dengan air bunga setaman, sejuk, harum, dan mengalirkan ketenangan hingga ke jiwa. Ritual itu bukan sekadar tradisi, tapi simbol penyucian diri menjelang pentas yang mengemban nilai luhur, sekaligus memberikan nama dalang, Ki Riyanto Hanggendhali.
Pentas segera dimulai. Pak Suwono, murid Eyang yang sudah sepuh namun penuh kharisma, menyelipkan sebilah keris di pinggang, sebuah pusaka yang tak saya tanyakan asal-usulnya. Seolah menjadi bagian dari tubuh, keris itu menyatu dalam gerak dan tutur. Wayangan malam itu terasa berbeda. Ada keajaiban yang tak terlihat, tetapi bisa dirasakan.
Pentas pertama, memainkan lakon dengan penghayatan tinggi. Dialog antartokoh mengalir luwes, dibumbui kelakar yang membuat penonton terpingkal namun tetap larut dalam cerita. Antara dalang dan penonton, tercipta hubungan batin yang jenaka sekaligus sakral. Malam itu bukan sekadar pertunjukan, ia adalah perayaan jiwa, antara dunia nyata dan dunia wayang.
Saka Dvi-pa, Surga di Bumi
Pusaka Sang Hyang Ismaya Semar Badranaya.
Budaya adalah “angen angen kang mbabar kaendahan”, angan-angan yang menghasilkan keindahan. Keris, Tosan Aji, dan Mantram merupakan jejak warisan leluhur yang terus hidup, mengalir dalam denyut waktu, dan menjadi penjaga keaslian nilai-nilai serta norma yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya merepresentasikan sistem sosial yang tetap teguh mempertahankan kepercayaan, adat istiadat, serta tradisi, seakan mengabadikan kebijaksanaan masa silam dalam lanskap kehidupan modern.
Seperti akar yang mencengkeram bumi dengan kokoh, budaya tumbuh dalam harmoni dengan sejarah, tanpa banyak tergerus oleh arus perubahan zaman. Ia hadir dalam ritual-ritual sakral, ungkapan bahasa yang nyaris punah, tata cara berpakaian yang sarat makna, hingga kearifan lokal yang menjadi pedoman dalam keseharian. Dalam pelukan budaya ini, masa lalu seakan berbisik lembut, mengingatkan bahwa identitas sebuah bangsa terletak pada kesetiaan terhadap akarnya.
Meski dunia terus bergerak maju dengan segala inovasi, budaya lama tetap menjadi oase keaslian di tengah modernitas yang serba cepat. Ia bukan sekadar peninggalan yang usang, melainkan cermin peradaban yang menyimpan cerita, keyakinan, serta nilai-nilai luhur yang mengajarkan kita untuk tidak melupakan asal-usul. Dalam setiap langkahnya, budaya ini mengajarkan keseimbangan antara mempertahankan tradisi dan menyongsong masa depan, agar sejarah tidak hanya menjadi kenangan, tetapi juga pelita yang menerangi perjalanan generasi mendatang.
Di pelosok-pelosok dunia yang masih dijaga keasriannya, masyarakat yang berpegang teguh pada budaya leluhur menjalani hidup dalam keselarasan yang intim dengan alam. Jauh dari bisingnya modernitas dan gelombang besar globalisasi, mereka membentuk suatu tatanan kehidupan yang berakar pada kebijaksanaan leluhur, di mana setiap gerak dan langkah mereka seakan menari dalam ritme yang diwariskan turun-temurun.
Waktu bagi mereka bukanlah perlombaan yang harus dimenangkan, melainkan aliran yang harus dipahami. Mereka tidak terjebak dalam tuntutan efisiensi yang mengikis ketenangan, tetapi memilih untuk menjalani kehidupan dengan kesadaran penuh, membiarkan tradisi menjadi penuntun dalam setiap keputusan.
Ritual-ritual adat bukan sekadar seremoni, melainkan perwujudan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan dunia tak kasatmata. Setiap gerak dalam upacara sarat makna, mencerminkan kesetiaan pada nilai-nilai luhur yang telah bertahan selama berabad-abad. Dalam sunyi yang damai, di antara hutan rimbun dan ladang yang terbentang luas, mereka menjaga warisan yang terus hidup dalam tutur kata, doa, dan tarian menghidupkan kembali kisah-kisah lama yang tetap abadi di tengah perubahan zaman.
Dalam kegelapan prasejarah, ketika pemahaman tentang alam semesta masih terbungkus misteri, manusia mulai membentuk persepsi spiritual yang menjadi cikal bakal sistem religius yang lebih kompleks. Antropologi budaya menyoroti konsep pra-animisme sebagai fase awal evolusi kepercayaan.
Pra-animisme mencerminkan keyakinan bahwa segala sesuatu di sekitar manusia, seperti batu, sungai, pohon, bahkan fenomena alam memiliki daya atau kekuatan tertentu berpengaruh terhadap kehidupan. Ini bukan sekadar pemujaan terhadap roh sebagaimana dalam animisme klasik, melainkan lebih pada perasaan intuitif bahwa dunia dipenuhi energi yang harus dihormati atau dijinakkan. Dengan berkembangnya kesadaran ini, manusia mulai menciptakan ritual sederhana sebagai bentuk interaksi dengan kekuatan tersebut, menanam benih bagi sistem kepercayaan yang lebih sistematis di masa mendatang.
Kruyt (Koenjaraningrat, 1987) berpendapat hampir sama, mengembangkan satu teori mengenai bentuk religi manusia yang berpusat pada kekuatan gaib yang serupa dengan kekuatan supranatural. Masyarakat pada umumnya yakin adanya zat halus yang disebut Zielestof yang ada dalam segala sesuatu, tubuh manusia, tumbuh tumbuhan, binatang, dan lain sebagainya.
Zelestof juga dipahami sebagai animisme. Kekuatan kekuatan tersebut dapat berpindah tempat (dari manusia pindah ke binatang, tumbuhan dan lain sebagainya). Dengan demikian, timbullah keyakinan terhadap perpindahan jiwa atau inkarnasi, yang juga merupakan kepercayaan animisme.
Di samping ada kekuatan halus animus, dalam perkembangan berikutnya, manusia percaya adanya zat halus yang ada di luar manusia, yakni spiritisme. Spirit ini bertempat di gunung-gunung, pohon-pohon, dan tempat-tempat sangar lainnya. Perlakuan terhadap spiritisme ini akan menimbulkan kegembiraan atau kemarahan. Manusia membagi spiritisme menjadi spiritisme buruk dan spiritisme yang baik.
Pendekatan kultur historis memungkinkan kita memahami bagaimana perubahan sosial, interaksi dengan alam, serta pengalaman kolektif suatu masyarakat membentuk struktur kepercayaan mereka. Dari tahap animisme yang intuitif hingga lahirnya mitologi dan dewa-dewa dalam sistem kepercayaan yang lebih kompleks, kita dapat melihat perjalanan panjang manusia dalam mencari makna dan keterhubungan dengan semesta.
Pada masyarakat paling awal, terdapat keyakinan terhadap keberadaan suatu entitas tertinggi yang kekal sebuah figur pencipta yang melampaui batas ruang dan waktu. Kepercayaan ini menggambarkan Tuhan sebagai sosok yang maha tahu, maha baik, dan bertahta di langit, memancarkan cahaya kebijaksanaan bagi umat manusia.
Meskipun beragam dalam bentuk dan ekspresinya, inti dari kepercayaan-kepercayaan ini tetap berakar pada gagasan tentang ketuhanan yang agung dan universal. Dalam tahap pra-animisme, manusia belum mengenal pemujaan terhadap roh leluhur atau benda-benda alam sebagaimana yang terjadi pada animisme dan dinamisme. Sebaliknya, mereka memandang dunia sebagai bagian dari kehendak ilahi yang abadi.
Tentang kepercayaan dewa tertinggi di kalangan suku-suku bangsa masa lalu, banyak tokoh yang mengatakan, bahwa tahap kepercayaan manusia itu bersifat animistis: bahwa alam memiliki jiwa. Kepercayaan ini fundamental dan universal, serta dapat menerangkan pemujaan terhadap orang mati, pemujaan terhadap para leluhur, atau nenek moyang dan juga menjelaskan asal mula para dewa. Dalam perkembangan berikutnya, animisme berkembang menjadi politeisme, dan kemudian berkembang lagi menjadi monoteisme (Susanto, 1987). Meskipun tidak jarang orang mengatakan, berjalannya agama itu dari monoteisme menuju animisme.
Dalam khazanah kepustakaan Nusantara lama, ada era yang disebut Shaka-dvipa. Dikenal konsep Sang Hyang Taya, sebuah pemahaman monoteistik yang mengakar dalam berbagai ajaran spiritual kuno. Walaupun setiap agama memberi-Nya nama yang berbeda, esensinya tetap satu: Ia adalah entitas tertinggi yang melampaui wujud dan bentuk.
Kesatuan dalam keberagaman inilah yang menjadi landasan spiritual masyarakat. Tidak ada sekat dalam pencarian ketuhanan; setiap jalan yang ditempuh, baik melalui agama, kerohanian, kebatinan, dan Kapitayan, pada akhirnya bermuara pada sumber yang sama. Dengan kebijaksanaan yang luhur, merangkul keberagaman sebagai kekuatan, mengajarkan bahwa kebenaran sejati bukanlah dalam perbedaan nama atau ritual, melainkan dalam pemahaman akan hakikat-Nya yang satu.
Otto (Koentjaraningrat, 1987) juga berpendapat, semua sistem religi, kepercayaan dan agama berpuncak pada hal yang gaib (mysterium) yang dianggap maha dahsyat (tremendum), dan keramat (sacer). Sifat dari hal yang gaib serta keramat itu adalah maha-abadi, maha dahsyat maha baik, maha adil, maha bijaksana, tak terlihat, tak berubah, tak terbatas. Sifat-sifat yang sulit dilukiskan dengan bahasa manusia yang manapun juga. Walaupun demikian, sifat gaib dan keramat yang menimbulkan sikap kagum terpesona, selalu akan menarik perhatian manusia, dan mendorong timbulnya hasrat untuk menghayati rasa bersatu dengannya.
Kesejatian Manusia
Ialah manusia, makhluk ciptaan yang mengandung keunikan yang kompleks. Individu yang merdeka dan bagian dari jejaring sosial bernama masyarakat. Dalam dirinya terpatri dualitas: kebebasan dan keterikatan, kesendirian dan kebersamaan. Sejak dalam kandungan, ia telah menjalani proses yang sarat makna, sebuah penciptaan yang agung, tersembunyi dalam rahim seorang ibu. Di balik jasad ragawi yang tampak, tersimpan kekuatan tersembunyi, sebuah potensi ruhani yang tak selalu mampu bebas bergerak di balik batasan tubuh fisik.
Tubuh manusia, meski nyata dan terasa, bukanlah hakikat sejatinya. Ia hanya wadah sementara bagi sesuatu yang lebih luhur. Pada hari keseratusduapuluh dalam kandungan, roh ilahi ditiupkan ke dalam tubuh itu, sebuah napas dari Yang Mahakuasa. Tiupan itu bukan sekadar penghidupan, melainkan peneguhan jati diri manusia sebagai makhluk spiritual. Ruh menjadi pusat dari eksistensi manusia, sumber kesadaran, akal budi, dan kemampuan untuk mencintai, memilih, dan merenung.
Sebab itu, menjadi manusia sejati bukan sekadar hidup dalam tubuh, tetapi hadir secara utuh sebagai makhluk rohani yang sadar akan asal-usul dan tujuannya. Ia dipanggil bukan hanya untuk mengisi dunia, tetapi untuk menyinari dunia dengan cahaya ruhani yang dititipkan Tuhan kepadanya. Di situlah letak kemuliaan manusia: bukan pada raganya, melainkan pada roh yang menghidupkannya.
Tiupan roh bukan hanya simbol kehidupan, tetapi juga sebagai jalan pulang. Aliran cahaya yang harus dilalui oleh manusia untuk kembali kepada Sang Pencipta. Ia bukan sekadar energi hidup, melainkan percikan keindahan Tuhan yang menyatu dalam diri setiap insan. Di dalam roh itu terkandung potensi cinta, kesadaran, dan kerinduan untuk kembali kepada sumber segala cahaya. Karena itu, hidup manusia bukan sekadar keberadaan di dunia, melainkan bentuk perjalanan spiritual, dari jasad menuju jiwa, dari dunia menuju Tuhannya.
Banyak manusia sejak dahulu hingga kini terus berspekulasi tentang hakikat Roh, substansi gaib yang menjadi inti kehidupan. Ia tak tampak, namun dirasa; tak terjamah, namun nyata dalam setiap tarikan napas dan detak kesadaran. Siapa yang mengenali Roh-Nya, konon akan mengenali Tuhannya. Dalam perenungan yang dalam, para bijak bestari mengungkapkan bahwa Roh adalah percikan dari Sang Maha Suci yang dititipkan dalam raga fana.
Ungkapan Jawa kuno seperti “curiga manjing warangka”, keris yang masuk ke sarungnya, melambangkan keselarasan Roh dengan tubuh, sebuah harmoni antara yang gaib dan yang nyata. Lalu konsep “manunggaling kawula Gusti” berbicara lebih jauh tentang puncak kesatuan: ketika hamba tidak lagi terpisah dari Sang Pencipta, ketika Roh kembali menyatu dengan sumber asalnya.
Dalam pemahaman penulis, zaman Saka Dvipa adalah Nusantara pertama. Plato menggambarkan sebagai “surga beriklim tropis. Penuh keindahan dan kekayaan: daratan-daratan yang luas dan ladang-ladang yang indah, lembah dan gunung-gunung, batu-batu permata dan logam dari berbagai jenis, kayu-kayu wangi, wewangian ……, sungai-sungai, danau-danau, dan irigasi yang melimpah, pertanian yang paling produktif, istana-istana bertabur emas bertembok perak. Gajah, Badak, Kutilang, Pipit, dan berjenis binatang buas ada di sini. Dimana sebagian besar kawasan masih tertutup salju, hanya wilayah yang dilalui khatulistiwa yang kondisinya semacam itu – Plato (Santos, 2010).
Penegasan Arysio Santos: surga beriklim tropis yang ada pada zaman Es, terletak di khatulistiwa. Indonesia adalah tempat dimana pulau rempah yang menakjubkan berada. Nama yang membuat petualang dan penjajah bak kebakaran jenggot dan mengalami demam emas hanya karena membayangkan keuntungan luar biasa yang bisa mereka dapatkan disana.
Satu kondisi yang oleh seorang dalang dikatakan: Negara panjang punjung, pasir wukir, gemah ripah, loh jinawi, karta rahaja, subur kang sarwa tinandur, jinawi murah kang sami tinuku ………………………..
Santos menandaskan, “bangsa yang kaya raya, mulia dan berbudi luhur. Tidak mementingkan kekayaan. Mereka lebih mementingkan kebijaksanaan dan kesalehan. Tapi lambat laun mereka terperangkap dalam kesombongan, ambisi dan iri hati (Kali-yoga?).
Meminjam karya Kerajaan Mataram Baru. Akeh wong mendem donga, banyak orang mabuk doa. Isih untung sing eling lan waspada, masih beruntung yang ingat dan waspada. Masa masa pertengahan, Ronggawarsito dalam Serat Kalatida:
Amenangi jaman edan – mengalami zaman edan
Ewuh oya ing pambudi – ingung dalam akhalnya
Melu edan ora tahan – ikut edan tidak sampai hati/ kuat
Yen tan melu anglakoni – ila tidak ikut menjalankan
Wedi kelangan melik – tidak kebagian harta
Kaliren wekasanipun – akhirnya kelaparan
Ndilalah kersa Allah – namun kehendak Tuhan
Begja begjane kang lali – seberapapun keberuntungan orang yang lupa
Isih begja, wong eling lawan waspada – asih untung (bahagia) orang yang (ingat) sadar dan waspada
Nusantara pertama sang Saka-dvipa, tenggelam di kedalaman laut. Kini Nusantara (kedua) bertebaran pulau yang dahulu menyatu. Terjadilan rekahan selat Sunda, dan terpisahnya Malaka, Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan lain-lain. Daratan yang ditempati bangsa Nusantara sekarang adalah pucuk-pucuk gunung, daratan rendah dan lembah telah terkurung dalam dekapan tsunami yang diperkirakan 135 meter, jauh melebihi tsunami di Aceh yang ketinggian air diperkirakan 10 meter.
Dari jejak budaya Saka inilah, kemungkinan besar muncul suatu ajaran atau kepercayaan asli Nusantara yang disebut “Kapitayan.” Kapitayan diyakini sebagai sistem kepercayaan yang mendahului agama-agama besar dan memperlihatkan ciri-ciri ketauhidan yang khas. Ajaran ini menekankan pada pemujaan kepada Sang Hyang Taya, suatu konsep ketuhanan yang abstrak dan nirwujud, melampaui bentuk dan bayangan. Kemunculannya seolah menjadi gema dari nilai-nilai luhur yang mengakar kuat dalam peradaban Saka-dwipa. Dengan demikian, Saka-dwipa bukan hanya sumber budaya, tetapi juga jiwa dari warisan spiritual yang hidup dalam ingatan masyarakat Nusantara hingga kini.
Pada masa awal Nusantara dua, Pulau Jawa belum tenang seperti sekarang. Ia berguncang dan terombang-ambing di samudra luas, dihantam angin dari timur lalu bergeser ke barat, dan kembali lagi tanpa henti. Alam seperti kehilangan keseimbangannya, bumi belum menemukan porosnya. Kegelisahan para dewa pun memuncak, Pulau Jawa yang labil dianggap dapat mengganggu keharmonisan semesta.
Melihat kegentingan itu, para dewa bermusyawarah di kahyangan. Maka diutuslah Bhatara Wisnu, sang pemelihara alam, untuk turun ke bumi. Sejak saat itu, Pulau Jawa diam dan tertambat. Ia menjadi tanah yang subur dan lestari, tempat bertumbuhnya peradaban agung. Kehadiran Wisnu bukan hanya menyelamatkan tanah ini, tapi juga menanamkan takdirnya sebagai pusat budaya, spiritualitas, dan kekuatan Nusantara.
Batara Guru (Wajahnya muram, memandang ke arah bumi dari singgasananya): “Wahai Batara Wisnu, lihatlah ke bawah. Pulau Jawa terus berguncang, bergerak tak menentu. Angin dari timur menderu, berganti arah ke barat. Alam tak tenang, makhluk bumi pun ketakutan.”
Batara Wisnu (Sambil menyatukan kedua tangan di depan dada): “Benar, Paduka. Bumi kehilangan keseimbangannya. Tanah itu terlalu ringan, terus berpindah ke sana kemari, terombang-ambing oleh gelombang dan angin.”
Batara Guru: “Pulau itu harus dihentikan. Ia tak bisa terus bergeser, sebab jika dibiarkan, keseimbangan semesta akan goyah. Aku memanggilmu, karena hanya engkaulah yang mampu membawa ketenangan.”
Batara Wisnu: “Dengan restu Paduka, hamba akan turun ke bumi. Hamba akan memaku Pulau Jawa di tengah-tengahnya, agar kokoh dan tak lagi bergeser. Di sanalah nanti akan tumbuh peradaban besar.”
Batara Guru: “Pergilah, Wisnu. Turunlah dengan wahana Garudamu. Bawalah gunung yang kokoh, paku yang suci, dan tancapkanlah ia di titik poros bumi. Biarlah ia menjadi pusat dunia.”
Batara Wisnu (Sambil bersujud hormat): “Segala titah Paduka hamba junjung. Hamba akan menunaikan tugas suci ini demi kedamaian bumi dan langit.”
Batara Wisnu kemudian naik ke punggung Garuda, membawa paku, ditancapkan di tengah tanah Pulau Jawa, membentuk dataran tinggi yang disebut dengan Gunung Tidar, poros spiritual Nusantara.
Mengiringi langkah agung itu, hadir Semar (Hyang Ismaya), tokoh suci berwajah rakyat namun berhati dewa. Ia bukan sekadar pengikut, tetapi konon penjaga nilai-nilai luhur, sang pamomong manusia Jawa yang kelak tumbuh dalam semangat kebijaksanaan, kesabaran, dan keikhlasan. Semar menjadi perwujudan cinta kasih para dewa pada manusia, jembatan antara langit dan bumi.
Dalam keyakinan masyarakat, ada beberapa pusaka yang dimiliki Kyai Semar; Keris Semar Kuning, Semar Kuncung, Semar Lungguh, dan Semar Mesem (Semar tersenyum); menurut cerita yang berkembang di kalangan masyarakat Jawa, keris Semar Mesem pertama kali dibuat oleh seorang empu keris yang sangat sakti. Konon, empu tersebut mendapatkan inspirasi untuk menciptakan keris ini setelah bermimpi bertemu dengan tokoh Semar, salah satu punakawan dalam pewayangan Jawa.
Dalam mimpinya, Semar memberi petunjuk untuk membuat keris yang memiliki kekuatan magis yang luar biasa. Setelah beberapa waktu, empu tersebut berhasil menempa keris yang sangat indah dengan ukiran dan bilah yang sangat tajam. Keris ini diberi nama Semar Mesem.
Pada masa kejayaan Kerajaan Kadiri, di bawah pemerintahan Prabu Sri Aji Jayabaya, dalam kesenian wayang mengalami perkembangan penting. Upaya memperkaya nilai spiritual dan filosofis pertunjukan, sang Prabu memerintahkan untuk menambahkan tokoh Semar ke dalam pagelaran wayang. Sosok Semar, yang dikenal sebagai Sanghyang Ismaya, dalam mitologi bukan hanya berfungsi sebagai punakawan penghibur, tetapi juga sebagai figur bijak yang menyampaikan nilai-nilai luhur kehidupan.
Penambahan ini menandai babak baru dalam perjalanan budaya Nusantara, menjadikan wayang tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sarana pendidikan spiritual dan moral yang mendalam.
Sejak saat itu, Jawa tidak lagi sekadar tanah yang dipijak, melainkan semesta makna yang hidup. Ia menjelma bukan hanya sebagai pulau yang membentang di antara lautan, tetapi sebagai ruang sakral yang ditopang oleh keseimbangan antara dunia nyata dan dunia tak kasatmata. Langit menjaganya dengan restu yang sunyi, sementara bumi memeluknya dengan kekuatan yang tenang. Jawa adalah tubuh dan juga jiwa, suatu kesatuan antara kasunyatan dan kegaiban.
Dalam pentas wayang, rahasia-rahasia semesta itu dimunculkan dalam bentuk simbol dan isyarat. Ia bukan sekadar pertunjukan, melainkan wahyu yang hidup. Tokoh-tokoh pewayangan menghidupkan nilai-nilai luhur yang mengalir dari masa silam: kesetiaan, keberanian, cinta, dan laku batin. Di balik layar, aura gaib terasa menggema, berkumpul dalam nyanyian gamelan, dalam mantram yang diucapkan diam-diam, dalam pusaka yang diwariskan turun-temurun.
Segalanya menyatu dalam harmoni, antara yang kelihatan dan yang tak terlihat, antara suara dan sunyi, antara tubuh dan roh. Jawa bukan hanya tempat, melainkan pengalaman spiritual: warisan dan juga doa, yang terus dijaga oleh kasih tanpa batas dan dihormati oleh mereka yang mengerti bahwa kehidupan tak hanya berjalan di permukaan, tetapi juga mengakar pada dimensi yang tak selalu terjangkau oleh nalar. Di sanalah, Jawa bersemayam.
Pada masa kejayaan Kerajaan Kadiri, di bawah pemerintahan Prabu Sri Aji Jayabaya, kesenian wayang mengalami perkembangan penting. Dalam upaya memperkaya nilai spiritual dan filosofis pertunjukan, sang Prabu memerintahkan untuk memunculkan, menambahkan tokoh Semar ke dalam pagelaran wayang. Sosok Semar, yang dikenal sebagai Sanghyang Ismaya dalam mitologi, bukan hanya berfungsi sebagai punakawan penghibur, tetapi juga sebagai figur bijak yang menyampaikan nilai-nilai luhur kehidupan.
Penambahan ini menandai babak baru dalam perjalanan budaya Nusantara, menjadikan wayang tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sarana pendidikan spiritual dan moral yang mendalam. Dalam runtutan pagelaran Wayang Kulit, ditampilkan ajian/mantram, keris, dan tosan aji lainnya.
Mantram
Mantram Sakti “Kidung Ayu”
Ana kidung rumekso ing wengi – ada kidung/doa di malam hari; Teguh hayu luputa ing lara – kuat selamat terbebas dari semua penyakit; Luputa bilahi kabeh – terbebas dari segala petaka; Jin setan datan purun – Jin dan setan pun tidak mau mendekat; Paneluhan tan ana wani – teluh/sihir tidak berani; Miwah panggawe ala – juga perbuatan jahat; Gunaning wong luput – perbuatan orang salah; Geni atemahan tirta – api menjadi air. Maling adoh tan ana ngarah ing mami – pencuri pun menjauh dariku. Guna duduk pan sirna – guna-guna tersingkir.
Mantram Sakti “Kunta Wekasing Rasa Sabda Tunggal Tanpa Lawan”
Dewi Kunti Talibrata, dalam pencariannya akan kesempurnaan spiritual, tengah melantunkan mantram sakti bernama Kunta Wekasing Rasa Sabda Tunggal Tanpa Lawan. Namun, ia lupa akan satu larangan penting, mantram suci itu tidak boleh diucapkan di tempat tidur, apalagi di kamar mandi, tempat yang tak layak bagi kekuatan suci bermanifestasi.
Tiba-tiba, ruang di sekelilingnya bergetar halus. Cahaya temaram berubah menjadi sinar menyilaukan. Dari sela-sela udara, hadir sosok agung: Batara Surya.
“Ada apa pukulun datang ke tempat ini?” tanya Kunti, terperangah.
“Hlo, Kunti… mestinya aku yang bertanya,” jawab sang Dewa dengan tenang. “Mengapa engkau memanggil para dewa?”
“Saya tidak bermaksud memanggil paduka,” jawabnya, menunduk haru.
Namun, kekuatan mantram itu begitu murni dan nyaring. Getarannya menembus batas alam, menembus Kahyangan, hingga mengundang hadirnya Sang Surya. Tanpa niat, namun dalam takdir, percakapan itu berakhir dalam perjumpaan suci. Cinta kasih dan energi semesta menyatu dalam satu momen agung antara Dewi Kunti dan Batara Surya.
Dari penyatuan sakral itu, lahirlah seorang putra bercahaya: Surya Putra Narpati Awangga, yang kelak dikenal sebagai Karna, sang kesatria agung yang gagah berani namun penuh luka batin.
Mantram Sakti “Sastra Harjendra Yuningrat Pangruwating Diyu, Pamungkasing Rasa”
Dalam senyapnya takdir dan bisikan semesta, tersusunlah syarat luhur demi meminang Dewi Sukesi, putri bijak dari pertapaan yang agung. Barang siapa hendak menjadikannya istri, wajiblah ia mampu merapal mantra suci: Kunta Wekasing Rasa, Sabda Tunggal Tanpa Lawan, sebuah rajah rahasia, kunci pembuka rasa sejati yang tak terbagi.
Resi Wisrawa, abdi darma dan bijak bestari, awalnya datang bukan untuk dirinya, melainkan sebagai utusan cinta anaknya, Danaraja, raja muda Alengka Diraja. Namun alam telah berkehendak lain. Kodrat Sukesi bukan tunduk pada titah, tapi takluk hanya pada yang mampu membuka rahasia semesta dalam mantra itu. Dan justru Wisrawa-lah yang sanggup membacanya hingga tuntas, dan seketika, cinta yang suci tapi tabu pun bersemi.
Dari rahim cinta yang tak disangka itu, lahirlah anak-anak berdarah api: Rahwana, Kumbakarna, Sarpakenaka. Danaraja pun murka, dunia pun bergolak. Darah dan cinta bertabrakan dalam pusaran karma. Inilah mula dari Alengka Brubuh, perang saudara yang kelak menggelegar ke seluruh penjuru jagat.
Alengka yang megah dibangun dari impian, kini terguncang oleh bayang-bayang takdir yang dilahirkan dari cinta terlarang. Sebuah kisah yang memahat luka pada sejarah, tentang mantra, tentang cinta, dan tentang keruntuhan akibat pertarungan batin seorang ayah dan anak-anaknya sendiri.
Mantram Sakti Jamus Kalimasada
Prabu Puntadewa, juga dikenal sebagai Yudistira, sering dikaitkan dengan Jamus Kalimasada atau Layang Jamus Kalimasada dalam tradisi pewayangan Jawa. Namun, hingga kini belum ditemukan naskah atau cerita otentik yang dapat secara historis mempertanggungjawabkan keterkaitan langsung antara Yudistira dan Kalimasada. Kalimasada sendiri kerap dimaknai sebagai perlambang dari Kalimat Syahadat, inti dari pengakuan iman dalam Islam.
Keris dan Tosan Aji
Keris Kalacakra
Dalam lembaran sejarah spiritual Jawa, tersimpan kisah magis tentang rajah Kalacakra, sebuah ilmu tinggi yang diyakini mampu mengendalikan kekuatan gaib dan nasib manusia. Salah satu peristiwa paling terkenal yang mencerminkan kedahsyatan ilmu ini terjadi di masa kerajaan Demak yang mulai meredup, ketika konflik kekuasaan memuncak antara Sultan Hadiwijaya, yang dikenal juga sebagai Jaka Tingkir, dan Pangeran Arya Penangsang dari Jipang Panolan.
Dalam sebuah pertemuan penting yang kelak akan menentukan arah nasib Kerajaan Mataram, Sunan Kudus mempersiapkan sebuah siasat spiritual yang sarat dengan kekuatan gaib dan niat tersembunyi. Ia memerintahkan pembuatan sebilah keris yang bukan sembarang pusaka, keris Kalacakra, dinamai dari ajaran mistik tinggi yang mengandung kekuatan luar biasa. Keris ini dirajahkan dengan ilmu Kalacakra, mantra sakral yang dipercaya mampu merobek lapisan gaib dan menaklukkan kekuatan lawan secara halus namun mematikan.
Namun, bukan hanya keris yang menjadi senjata dalam perang tak kasat mata itu. Sunan Kudus juga mempersiapkan sebuah kursi khusus untuk Sultan Hadiwijaya, yang telah dirajah dengan maksud licik. Siapa pun yang mendudukinya akan perlahan kehilangan seluruh kesaktiannya, bahkan tubuhnya bisa lumpuh dalam sekejap,sebuah jebakan halus yang terselubung dalam tata krama perjamuan.
Rencana itu nyaris berhasil, jika tidak karena kepekaan batin Sunan Kalijaga. Melalui laku tapa dan hubungan spiritual yang mendalam, ia menerima petunjuk gaib tentang niat tersembunyi di balik pertemuan tersebut. Tanpa menimbulkan kecurigaan, ia memperingatkan Sultan Hadiwijaya untuk menukar tempat duduknya. Maka, kursi itu diduduki oleh Arya Penangsang, yang langsung merasakan dampaknya. Dengan kebijaksanaan dan penglihatan spiritualnya, Sunan Kalijaga menyelamatkan Mataram dari kehancuran yang dirancang lewat siasat licik dan kekuatan tak kasat mata.
Sutawijaya mengadakan perang tanding kembali. Arya Penangsang tewas mengenaskan dengan perut robek terburai sampai ke usus akibat ditusuk tombak Kyai Plered. Sedangkan keris sakti milik Pangeran Arya Penangsang sendiri yaitu Kyai Setan Kober yang legendaris tersebut seperti tawar ketika menghadapi tombak Kyai Plered.
Prabu Siliwangi/ Sri Baduga Maharaja dengan “mistis Macan Putih dan Kyai Kujang, Mahkota Binokasih (mahkota Indra/ Dewa perang) dll. Sedang dikumandangkan Kang Dedy Mulyadi Gubernur Jawa Barat dalam lindungan mistis Maung Bandung, Macan Putih.
Rujakpolo
Bima disebut sebagai Raden Werkudara yaitu julukan ksatria di Jodhipati. Sosok Bima juga dipercaya sebagai jelmaan Dewa Bayu yang membuatnya memiliki julukan Bayusutha. Pusaka atau senjata milik Bima berupa Kuku Pancanaka, Gada Rujakpolo.
Dalam keremangan senja yang mengambang di atas medan Kurukshetra, Bima berdiri terpaku, tubuhnya dibasahi peluh dan debu peperangan. Ia kehilangan jejak musuh besarnya, Duryudana, sang raja licik dari Hastina. Sunyi yang menegang pecah ketika dari balik rimbunan teratai di danau yang sepi, sosok gagah meloncat keluar. Itulah Duryudana, penuh amarah dan dendam, matanya merah menyala dalam cahaya temaram.
“Heh, Bima! Waktumu telah tiba!” teriaknya lantang, suaranya menggema seperti guntur di langit gelap.
Tanpa ragu, Duryudana mengayunkan gadanya dengan kekuatan penuh. Namun Bima, yang telah lama menanti saat ini, bergerak cekatan. Ia menghindar secepat kilat, lalu dengan tangan yang menggenggam erat Gada Rujakpolo, senjata legendarisnya, ia membalas. Ayunan pertamanya menghantam kaki Duryudana hingga sang raja bertekuk lutut, tubuhnya oleng.
Tanpa memberi celah, Bima terus menghujani tubuh Duryudana dengan pukulan demi pukulan. Gada Rujakpolo menari di udara, menderu ganas, seolah mewakili amarah Pandawa atas kezaliman yang telah lama ditanggung. Suara tulang retak berpadu dengan raungan kesakitan. Hingga akhirnya, tubuh Duryudana terhempas. Diam. Tak bergerak. Senja menutup medan Bharatayuda dengan keheningan duka. Sang Raja Hastinapura, Duryudana, gugur di tangan Bima. Keangkuhan runtuh, dan kisah dendam itu mencapai ujungnya.
Panah Kunta Jayadanu
Dalam gemuruh Perang Bharatayuda, pasukan Kurawa mulai kehilangan daya juang. Gatutkaca, satria dari Pringgadani, menjelma menjadi garda terdepan Pandawa. Dengan tubuh yang dibalut ajian Kutang Antakusuma dan Caping Pasunanda, ia melayang di angkasa, menjadi badai petaka bagi lawan-lawannya. Satu demi satu musuh berguguran, tak mampu menahan kedahsyatan sang putra Bima.
Di kejauhan, tampak Adipati Basukarno, diam menatap langit. Ingatannya terlempar pada masa lalu: pada saat kelahiran Gatutkaca yang nyaris merenggut nyawa sang bayi. Hanya warangka panah Kyai Kunta Jayadanu yang mampu memutus tali pusar sang bayi ajaib itu, sebuah pertanda bahwa kelak, panah dan warangkanya akan bersatu dalam takdir yang tragis.
Hari itu tiba. Di langit yang berarak mendung, Raden Gatutkaca terbang tinggi di antara mega, memimpin serangan tanpa rasa gentar. Namun dari bawah, melesatlah panah Kyai Kunta Jayadanu, melintasi langit seperti cahaya kutukan yang tak terelakkan. Panah itu mengejarnya, hingga akhirnya menancap tepat di pusarnya, titik asal dan akhir hidupnya.
Tubuh sang Senapati agung jatuh perlahan dari langit, bagai bintang yang padam. Ciriga pun akhirnya manjing warangka. Takdir telah terpenuhi. Gatutkaca gugur sebagai pahlawan, menorehkan kisah kepahlawanan yang tak akan lekang oleh waktu.
Keris, Tosan Aji, dan Mantra memaparkan dan menjelaskan ratusan, bahkan ribuan peninggalan leluhur. Memberi terang dikala masyarakat ingin mengetahui, membabar rahasia: Karier, Kewibawaan, Kepemimpinan, Pembela perkara (pambungkem), penyidik perkara (Omyang), Kuat kaya, Tolak balak, Memantapkan hati, Kedudukan, Singkir geni, Singkir angin, Singkir air, Menetralkan tanah angker/Rumah angker, Kelahiran, Perjodohan/ rumah tangga, Penjagaan, Dagang, Tani.
(Ki Hudoyo Doyodipuro, Occ).