Belladonna of Sadness lebih dari sekadar film erotic juncto psychedelic. Film dimulai dengan Jean dan Jeanne, sepasang pengantin baru, yang penuh harapan akan masa depan, namun segala harapan itu runtuh seketika dalam semalam. Keruntuhan itu dimulai ketika mereka berdua hendak mendaftarkan pernikahannya, namun, penguasa feodal malah memerkosa Jeanne, sang pengantin perempuan.
Jeanne kembali pada suaminya dalam keadaan trauma dan kacau. Pada malam itu, Jeanne tetiba didatangi sosok iblis, kata iblis itu, ia datang karena jiwa Jeanne sendiri yang memanggilnya. Memanggil untuk sebuah pertolongan akan kekuatan, kekuasaan. Ketika Jeanne bertanya: “Apakah kau iblis?”, sesosok kecil itu menjawab: “Aku adalah kau”.
Dari sudut pandang psikoanalisis, sosok iblis kecil itu bisa kita baca: trauma Jeanne yang muncul sebagai impuls. Sebuah tenet alam bawah sadar yang terepresi. Ini dicirikan ketika iblis itu menjawab bahwa dirinya adalah Jeanne itu sendiri. Yang dimaksud iblis itu: ia adalah sebuah Impuls traumatik yang sebesar apapun Jeanne menepikannya, mendorongnya ke alam bawah sadar, suatu saat pasti akan kembali lagi.
Beberapa adegan berlalu, keadaan Jeanne berubah. Seolah mendapatkan kekuatan dari sang iblis, Jeanne menjadi perempuan yang berdaya. Setelah sebagian pria di kotanya pergi berperang, Jeanne menjadi peminjam uang. Rentenir dengan kekuatan ekonominya, ia mendapatkan kekuatan sosialnya. Dirinya menjadi perempuan dihormati di desa. Sebagian pria yang tersisa di desa bahkan lebih hormat pada Jeanne daripada istrinya sendiri. Namun kebermartabatan ini tak bertahan lama. Setelah para pria, termasuk tuan feodal, pulang dari perang, mereka terganggu dengan kedudukan yang dimiliki Jeanne. Mereka menuduh bahwa Jeanne adalah seorang penyihir. Seketika mereka mengejar untuk menangkap Jeanne. Terciptalah amok. Keos. Jeanne dengan segala daya upaya berusaha kabur dan berakhir di sebuah puncak gunung salju.
Sebuah analisa yang bisa diajukan: peristiwa yang dialami Jeanne adalah bukti bahwa kekuasaan di dalam dirinya selalu tersimpan perangai proto-fasisme. Setiap kekuasaan selalu berusaha untuk memelihara kedaulatannya. Namun kedaulatannya ini dipelihara melalui pengekslusian terhadap, dalam terma Lacanian, The Others: yakni eksklusi terhadap segala fluks yang mengancam teritori kekuasaan. Fluks yang dianggap mengancam ini diterapkan dengan predikat peyoratif. Seperti Jeanne yang disebut penyihir. Dalam politik, orang yang kritis disebut subversif, kelompok terpinggirkan yang menuntut keadilan disebut separatis, perempuan yang berusaha melawan dominasi disebut melanggar adat istiadat, dsb.
Di sinilah paradoks dari sebuah mantra sakti yang kita sebut “kedaulatan rakyat”. Kita perlu berhati-hati memperlakukan frase ini, kedaulatan rakyat tidak sama dengan rakyat berdaulat. Segala bentuk kedaulatan selalu mensyaratkan pengekslusian. Kedaulatan patriaki mensyaratkan ekslusi perempuan. Kedaulatan oligarki di Indonesia hari ini, mensyaratkan eksklusi terhadap buruh. Namun mereka yang berada dalam kekuasaan, dalam kedaulatan itu sendiri, selalu berperangai seolah mereka mewakili semuanya. Inilah yang dimaksud proto-fasisme, sebuah retorika populistik yang menganggap dirinya sebagai representasi rakyat, wakil dari semua, namun kekuasaannya diraih dari pengekslusian, dari penepian sebagian rakyat itu sendiri. Dalam film ini ditunjukkan, satu-satunya cara agar si tuan tetap berkuasa adalah mengekslusi Jeanne.
Cerita berlanjut, Jeanne berakhir di sebuah gunung salju. Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa trauma selalu kembali, sang iblis kembali mendatanginya. Di sini Jeanne membuat perjanjian dengan iblis: sang iblis akan memberinya kekuatan jika Jeanne menjual jiwanya kepadanya. Jeanne sepakat. Ia menjelma menjadi semacam dewi yang memiliki kekuatan mistik. Penduduk desa yang tengah dilanda wabah, berbondong-bondong mendatangi Jeanne untuk meminta kesembuhan. Tuan feodal yang mendengar itu merasa terusik. Namun kali ini ia tak ingin mengusir Jeanne, sebaliknya, ia ingin bekerjasama dengan Jeanne. Jeanne diminta datang ke istana untuk memberitahukan apa rahasia dibalik kekuatan supernya itu. Namun Jeanne bukanlah perempuan yang mudah terkena tipu muslihat. Ia menolak.
Apa yang terjadi setelah ini? Kita bisa menebaknya: Jeanne ditangkap. Ia ditangkap lalu diikat di tiang pancang untuk kemudian dibakar. Namun keajaiban terjadi. Setelah Jeanne hangus mati terbakar, tiap perempuan di desa yang menyaksikan eksekusi itu, secara ajaib, wajahnya berubah menjadi wajah Jeanne. Dari sini, perjuangan yang sesungguhnya terhadap tirani dimulai. Rakyat, terutama perempuan, sadar akan ketertindasannya. Pemberontakan membuncah. Di akhir, film ini menarasikan pemberontakan itu adalah awal-mula dari Revolusi Perancis. Pemberontakan yang dimulai di desa terpencil berakhir dengan Revolusi Perancis yang merubah tatanan politik di seluruh dunia.
Apa yang bisa kita katakan di sini? Dalam pengaruh psikoanalisis saya bisa mengatakan: perjanjian Jeanne dengan iblis bukanlah semacam gagasan yang ada dalam konspirasi mengenai artis Hollywood. Melainkan sebuah upaya Jeanne untuk menghadapi traumanya. Ia mensublimasi traumanya itu menjadi sebuah kekuatan. Sebuah kekuatan yang menjadikan dirinya memiliki keberanian untuk melawan. Dalam pandangan Lacanian, peristiwa ini adalah peristiwa di mana seseorang melampaui struktur simbolik yang mengekangnya. Jeanne yang oleh ideologi patriarki diterakan semacam sekat ideologis yang mengungkung, misalnya, bahwa perempuan semestinya tidak melawan, perempuan adalah yang lemah dsb. Ia lampaui semua itu.
Dari sini kita bisa mendapatkan pengertian bahwa perjuangan perempuan untuk meruntuhkan patriarki bukanlah perjuangan perempuan untuk merubah pikiran laki-laki, melainkan perjuangan untuk sepenuhnya melampaui pikiran laki-laki itu sendiri. Sebagaimana Jeanne, ia tak ingin berdiplomasi dengan tuan feodal, sebab ia tahu, setiap yang berkuasa tak mungkin rela melepaskan kekuasaannya, sebab dengan itu, artinya melepaskan juga benefit dari kekuasaan yang dimilikinya. Dan logika berbagi kasih semacam ini tidaklah mungkin. Sehingga yang perlu dilakukan adalah melampaui batas-batas yang diedarkan oleh kekuasaan. Jeanne dengan penuh determinisme menolak tawaran tuan feodal. Perempuan yang berjuang untuk kesetaraan tidak berjuang untuk berkompromi dalam struktur kekuasaan, melainkan untuk sepenuhnya melampaui struktur kekuasaan itu sendiri. Perubahan struktural. Itulah akhirnya.
Jeanne yang meskipun akhirnya mati, menjelmakan dirinya di dalam tubuh perempuan. Di sini traumanya muncul kembali, tidak dalam bentuk iblis, tetapi dalam bentuk semangat revolusioner di tiap tubuh perempuan. Perempuan yang semula tereksklusi berhasil mendapatkan momennya. Momen ini menyadarkan mereka bahwa penguasa feodal itu sendiri sebenarnya rapuh. Kerapuhan ini berusaha ditutupi dengan cara mereplikasi terus-menerus ide hegemonik dan, sebagaimana dikatakan sebelumnya, merepresi segala bentuk ancaman terhadap ide itu. Dalam percobaan yang pertama, tuan feodal berusaha merepresi Jeanne. Dan gagal.
Upaya represi selalu mengakibatkan resistensi. Upaya terakhir tuan feodal merepresi Jeanne mengakibatkan resistensi yang lebih besar terhadap kekuasaan. Dan kerapuhan itu berdiam diri di hadapan massa yang telah sadar. Dalam konteks politik kita, sehari-hari kekuasaan selalu mengedarkan kekuatan hegemonik melalui aparatusnya: aparat bersenjata, politisi murahan, influencer bayaran dsb. Namun, ini adalah indikasi bawah kekuasaan itu sendiri rapuh. Dan perubahan radikal bisa dimulai oleh peristiwa represif yang tampak kecil, elementer. Sebagaimana seperti dinarasikan dalam film ini, Revolusi Perancis dimulai dari dibakarnya tubuh Jeanne di suatu desa terpencil.
Melalui keyakinan ini, dalam kondisi politik kita yang busuk hari ini, kita hanya membutuhkan satu titik krisis sebagai pemantik, yang membuat seluruh kita yang berjuang demi keadilan dan kesetaraan—perempuan, rakyat kecil, kelompok terpinggirkan, dsb.—sadar akan kekuatannya untuk kemudian mengusir penindas layaknya kuda yang mengusir lalat dengan hanya menghempaskan tubuhnya satu-dua kali.