Fachry Ali dikenal sebagai ilmuwan sosial dan pengamat politik. Maka tak mengherankan jika pria berusia 68 tahun itu memperoleh penghargaan gemilang. Sebagai ilmuwan sosial, Fachry Ali dianugerahi penghargaan bidang Pemikiran Sosial Achmad Bakrie XIX tahun ini. Pemikiran dan tulisan-tulisannya lah yang membuktikan dan menghantarkannya pada capaian gemilang ini. Tentunya, hal itu dicapai dengan ketekunan dan usaha, jauh sejak beliau masih duduk di bangku madrasah.
Pria kelahiran Susoh, Blang Pidie, Aceh Selatan, 23 November 1954 ini memang dikenal tekun, bahkan beliau mulai membaca surat kabar sejak kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah di Jakarta, saat berumur 10 tahunan. Selain surat kabar, beliau juga menambah wawasannya melalui berbagai bacaan majalah dan buku.
Ilmuwan sosial ini memulai pendidikannya pada tahun 1960-1965. Beliau belajar di Sekolah Rakyat Islam (SRI) Banda Aceh sampai dengan kelas 4. Saat itu, minatnya terhadap isu-isu sosial dan bacaan surat kabar juga mulai muncul. Kemudian, beliau melanjutkan pendidikan dasarnya di Kota Metropolitan pada tahun 1966-1968. Beliau melanjutkannya di salah satu madrasah daerah Jakarta Selatan, yakni Madrasah Ibtidaiyah Nurul Huda.
Setelah menamatkan Madrasah Ibtidaiyah, beliau menghabiskan 3 tahun berikutnya di Madrasah Tsanawiyah, hingga akhirnya melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi ke Sekolah Persiapan IAIN (SPIAIN) yang ditamatkannya pada tahun 1973.
Memasuki bangku perkuliahan, Fachry Ali mulai menulis. Saat beliau menempuh semester 3 di Fakultas Tarbiyah Jurusan Bahasa Inggris, tulisan pertamanya dimuat di surat kabar. Hal itu membuatnya mendapat julukan baru sebagai penulis termuda pada zamannya yang tulisannya sudah tersebar di berbagai surat kabar di Jakarta, sebelum akhirnya beliau pindah menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.
Tulisan-tulisanya tersebut lahir dari hasil terjun langsung ke masyarakat. Beliau terjun dalam berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat dan berinteraksi langsung secara intensif dengan masyarakat. Informasi-informasi dan realita yang dialami masyarakat menjadi bekalnya dalam menulis. Hal itu mengantarkan tulisan-tulisannya hingga ke berbagai surat kabar nasional, seperti di Kompas, Tempo, Pelita, Panji Masyarakat, Prisma, dan lain-lain.
Keterlibatan dengan masyarakat Fachry buktikan dengan terjun langsung untuk membina masyarakat di daerah sebagai Tenaga Pembina Lapangan (TPL) LP3ES industri ukir-ukiran di Jepara. Selepas itu beliau bekerja sebagai staf Dokumentasi dan Informasi Industri Kecil. Sesudahnya, beliau kembali bekerja pada program penelitian LP3ES.
Selain menulis terkait isu-isu sosial, Fachry juga menyelami bidang politik. Keterlibatan Fachry dalam medan politik dan aktivisme dimulai sejak beliau menginjakkan kaki di bangku kuliah di UIN Ciputat pada pertengahan 1970-an. Beliau mulai terlibat dengan berbagai persoalan kebangsaan dan gerakan-gerakan mahasiswa sejak tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat. Di sana, beliau juga aktif melakukan penelitian dan berdiskusi seputar riset perdamaian, filsafat, sosial-politik, tafsir, dan pesantren bersama rekan-rekannya kala itu.
Tulisan-tulisannya akhirnya dihimpun oleh sahabatnya, Azyumardi Azra menjadi buku berjudul “Agama, Islam, dan pembangunan” yang diterbitkan oleh PLP2M Yogyakarta.
Satu tahun setelahnya, buku berjudul “Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern” terbit. Buku itu lahir setelah beliau mendalami budaya Jawa dan realitas masyarakatnya. Pemahamannya tentang budaya yang tidak diragukan lagi itu, menarik berbagai perhatian profesor asing.
Tepat 3 tahun berikutnya, Fachry Ali diundang oleh Profesor Fasseur untuk menyampaikan makalahnya dalam seminar Late Colonial State di Universitas Leiden. Di sana beliau menyampaikan makalahnya yang berjudul “Masses without Citizenship: A 19th Century Javanese Islamic Protest Movement”. Makalah miliknya menarik perhatian Prof. Fasseur terutama fakta terkait penguasaannya terhadap budaya Jawa yang juga telah menarik minat sejarawan Australia, M.C. Ricklefs. Hal itu membuka peluang besar bagi Fachry untuk melanjutkan studinya ke Negeri Kangguru. Kesempatan itu pun tak beliau sia-siakan, selepas M.C. Ricklefs mengundangnya untuk belajar di bawah bimbingannya, Fachry terbang ke Australia menjemput gelar Master di Monash University, Melbourne.
Ilmu-ilmu yang beliau dapat, dibagikan melalui buku-bukunya yang lain, antara lain Golongan Agama dan Etika Kekuasaan: Keharusan Demokratisasi dalam Islam Indonesia (1996), Antara Pasar dan Politik: BUMN di Bawah Dahlan Iskan (2013), dan Ekonomi Politik Indonesia : Sketsa Historis dan Masa Depan (2018).
Berkat tulisan-tulisannya terkait ilmu sosial, politik, dan islam itu lah Fachry dinilai berjasa memakai ilmu-ilmu sosial dalam melihat Islam Indonesia dan berkontribusi memperkenalkan kajian-kajian ilmu sosial kepada komunitas intelektual Islam Indonesia. Jasanya tersebut yang akhirnya menghantarkan dirinya meraih penghargaan Achmad Backrie 2023, bersanding dengan Joko Pinurbo, Andrijono, dan Carina Joe.