Perburuan Surga si Laknat Tuhan
Perburuan Surga si Laknat Tuhan

Setiap kali gelap malam mulai mendekati pagi, dalam perjalanan pulang kau pasti singgah menghampiri anjing jantan penghuni jalanan berwarna cokelat itu di pertigaan jalan menuju rumah yang kau sewa. Udara pagi yang dingin sangat menusuk tulang. Tapi kau tak peduli.

Di tanganmu telah siap sepotong daging ayam yang sengaja kau beli dari sisa uang receh hasil pelayananmu semalam. Juga tak lupa sebotol air yang kau ambil dari keran halaman masjid, tempat yang selalu membuatmu merasa terasing, tapi tetap kau datangi demi anjing itu.

“Apakah engkau sedang sekarat hari ini?” Kau selalu menanyakan itu setiap kali kau sudah berada di depan anjing kerempeng tersebut. tapi sebenarnya pertanyaan itu lebih kau tujukan untuk dirimu sendiri. Kau yang merasa sekarat setiap hari, terjebak dalam lingkaran dosa yang tak kunjung usai.  

Dan seperti biasa, anjing itu hanya melenguh kemudian berdiri sambil mengibaskan ekornya yang hanya tersisa setengah terpotong dalam kerasnya pertarungan dengan penghuni jalanan lainnya untuk mempertahankan hidup, sebuah pertanda bahwa dia senang dengan kedatanganmu. Seperti kemarin, dan juga hari-hari sebelum kemarin, raut wajahmu sedikit menyiratkan kekecewaan, ternyata kau dapati anjing itu masih sehat tak kurang suatu apa kecuali rasa lapar yang selalu menjadi temannya menghadapi hari-hari dan juga malam-malam selama ini.

- Poster Iklan -

Tetapi kau tetap berikan apa yang selalu kau bawa, kau berikan sepotong daging ayam dan kemudian kau lepas sepatu pada kaki kananmu, sepatu yang kau dapatkan sebagai hadiah dari seorang lelaki setelah lelaki itu menyewa ragamu. Lelaki itu merasa puas dengan pelayananmu dan membelikanmu sepasang sepatu untuk kau pakai.

Kau tuangkan air pada sepatu itu untuk kemudian air itu diminum oleh anjing tak bertuan tersebut.

Setelah semua habis dilahap anjing itu, kau pergi melanjutkan perjalanan, tak lupa kau tenteng sebelah sepatumu yang tadi kau pakai untuk memberi minum anjing tersebut  dan seperti biasa, kelak ketika engkau tiba pada tempat tujuanmu, kau akan cuci sebelah sepatu itu dengan aliran air dari keran di kamar mandimu yang sempit sebanyak tujuh kali dan salah satunya kau campur dengan tanah yang selalu kau ambil segumpal dalam perjalanan pulangmu. Itu adalah cara untuk membersihkan liur anjing yang pernah kau dapatkan ketika kau masih belia belum tersentuh dosa dari guru mengajimu di desa asalmu dahulu.

“Dulu sekali, moyangmu hampir mati kehausan,” kau berkata pada anjing itu pada pertemuan berikutnya sambil menuangkan air ke dalam sepatu. “Seorang perempuan – sepertiku – menyelamatkannya dengan dengan air yang seharusnya untuk dirinya sendiri. Dia mati, tapi moyangmu hidup. Dan perempuan itu, meski hidupnya penuh dosa, dikatakan masuk surga.“ 

Sejenak kau terdiam tanpa kata seakan memberi ruang pada hatimu untuk membiarkan rasa iri menari di sana. Sangat terlihat jelas, kau tak bisa menyembunyikan rasa iri pada nasib akhir si pelacur dalam cerita itu sambil memandang anjing itu yang tengah asyik mencabik daging. “Mungkin ini cara untuk aku bisa mendapatkan surga,” bisikmu pelan.

“Aku tahu cerita ini dari guru mengajiku sebelum aku menjadi manusia yang dianggap sebagai sampah masyarakat seperti sekarang ini.” Matamu terlempar pada masa ketika kau tumbuh remaja. Antara mata penuh rindu dan juga penuh luka sayat. Ketika kau masih percaya pada cinta dan masa depan. Pemuda itu, dengan senyum manis dan janji kosong yang terlambat kau sadari, telah menghancurkan segalanya. 

Kau ingat bagaimana ayahmu mengusirmu, suaranya penuh amarah. Dan ibumu yang dulu selalu memelukmu hanya diam tanpa memberikan pembelaan. Sejak saat itulah kau sadar, hari-hari dalam hidupmu tak akan lagi sama seperti halnya hari-hari sebelumnya.

“Aku tumbuh dengan segala kebaikan keluargaku. Tetapi, seorang pemuda yang sangat sempurna di mataku berhasil menenggelamkanku dalam kubangan merah jambu. Aku terjebak, dan pemuda sempurna itu berhasil menanam benih pada rahimku.” Anjing di hadapanmu masih terus mencabik sepotong daging yang baru saja kau beri. Anjing itu seolah tuli, kau pun juga tak peduli.kau hanya ingin bercerita, itu saja.

“Ayah dan ibuku membuangku. Mereka lebih memilih membuangku dengan janin yang terus membesar daripada hidup malu dengan serangan makian dan gunjingan semua orang.” Kau melanjutkan.

“Aku hidup dalam penderitaan, anakku tak selamat ketika masih berjuang hidup dalam perutku.” Tak ada air mata ketika kau bercerita pada anjing itu. Mungkin karena hatimu sudah kebas dengan semua derita.

“Seorang perempuan yang baik menolongku. Dia menolongku dengan membawaku ke rumah sakit, dan aku selamat. Kemudian sekali lagi dia menolongku, membawaku pada seseorang dan memberiku sebuah pekerjaan yang sampai kini jadi penyambung nafasku di dunia ini.” Anjing di hadapanmu tampak memainkan lidahnya di sekitar runcing moncongnya. 

“Begitu melihatmu ketika aku baru menyewa rumah petak itu, aku teringat akan cerita yang tadi kuceritakan kepadamu.” Matamu dipenuhi akan harap. Kau sadar, kau adalah sosok yang tak memiliki tiket ke surga. Kau yakin, surga bukan dicipta untuk orang sepertimu. Maka kau menganggap hanya anjing itulah yang akan menjadi kesempatanmu untuk mendapatkan surga.

Pada beberapa kesempatan anjing tersebut mencoba ingin ikut denganmu, berharap engkau menjadi majikannya. Tetapi kau selalu kibaskan tangan agar anjing itu tidak mengikutimu, dan sosok cokelat itu patuh.

“Seekor anjing jalanan tak boleh hidup berdua dengan pelacur, dua sosok yang selalu dilaknat bersatu, engkau selalu dilaknat manusia dan aku dilaknat oleh manusia dan juga Tuhan, entah akan menjadi apa nantinya?” Kau bergumam setengah menghina nasibmu sendiri kala itu.

Pernah kau coba meraih tiket ke surgamu dengan mereguk habis semua doa-doa di sebuah masjid, tetapi mereka yang tak menerima orang sepertimu langsung melakukan penghakiman bahwa perempuan sepertimu tak akan pernah layak untuk memasuki tempat suci itu. “Tempat suci hanya untuk orang suci!” Beberapa dari mereka mengeluarkan suara yang sangat melukai telinga dan hatimu. Dan kini, masjid tersebut kau singgahi hanya menuju keran dan mengambil airnya ke dalam botol untuk minum anjing cokelat penghuni jalanan tersebut,

Dan hari ini, ketika waktu kepulanganmu, kau kembali melakukan rutinitasmu seperti biasa. Tetapi anjing cokelat itu tak ada di tempatnya. Kau menunggu, memanggil-manggil, tetapi tak ada tanda-tanda keberadaannya. Sementara di tanganmu telah siap sepotong daging ayam dan juga sebotol air yang akan kau tuangkan pada sebelah sepatumu untuk diminum oleh anjing cokelat itu. 

Matamu nanar mengelilingi sekitar. Dan pandangan matamu terhenti pada sosok yang tengah terkapar di pinggiran jalan yang terhalang oleh tumpukan bebatuan.

Di sana, bangkai anjing cokelat itu teronggok dengan isi perut yang membusai entah dilindas oleh apa? Sepertinya pemilik kendaraan yang melindasnya tak mau repot-repot menguburkan anjing jalanan tersebut dan hanya menyingkirkannya ke pinggiran jalan saja.

Kau terduduk dan merasa hampa. Begitu hampa seakan satu-satunya harapanmu untuk mendapatkan tiket ke surga telah kandas. Kau merasa bukan seperti inilah seharusnya ini berakhir. Seharusnya semua berakhir seperti cerita yang dituturkan oleh guru mengajimu dulu ketika kau masih di desa sebelum tergenang dalam kubangan dosa.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here