Menyusur Jejak Dibyo Lurik: Ekspedisi Kerajinan Tenun Yogyakarta
Menyusur Jejak Dibyo Lurik: Ekspedisi Kerajinan Tenun Yogyakarta

Di sebuah gang sempit di pinggiran Yogyakarta, suara kayu berderak pelan beradu dengan hela napas panjang seorang perempuan tua. Tangannya yang keriput bergerak ritmis, menarik, dan mengatur benang seperti menyusun ulang kenangan. Di rumah tenun Dibyo Lurik, tradisi itu masih hidup—bukan sebagai fosil budaya, melainkan sebagai tubuh yang terus bergerak, berubah, dan bernegosiasi dengan zaman. Ekspedisi saya ke tempat ini, setelah lebih dari sepuluh tahun belum “sowan” lagi, bukan hanya perjalanan fisik, tetapi penelusuran benang-benang makna yang teranyam dalam sejarah dan harapan.

Menyusur Jejak Dibyo Lurik: Ekspedisi Kerajinan Tenun Yogyakarta
Menyusur Jejak Dibyo Lurik: Ekspedisi Kerajinan Tenun Yogyakarta

Lurik, dalam banyak hal, adalah bahasa. Ia berbicara melalui garis-garis. Ia mencatat kesederhanaan hidup, eksistensi para kawulo saat keanggunan kraton diekspresikan melalui batik, hingga keberanian dalam bentuk simbolik. Kini, di tengah derasnya industri tekstil modern, suara lurik masihkah bisa didengar? Apakah generasi muda masih bersedia membaca kisah-kisah di balik motif yang tak pernah teriak, tapi terus bicara?

Jejak Lurik dalam Waktu dan Warna

Lurik selalu tampak sederhana di mata banyak orang. Hanya kain bergaris, motif repetitif, warna-warna tanah. Tak ada gemerlap dan tak ada sorotan. Tapi justru dalam kesederhanaannya itulah lurik menyimpan kekuatan. Ia seperti bisikan pelan di tengah keramaian dunia tekstil modern yang berisik: menenangkan, mengakar, dan menyentuh.

Kata mas Mas Yusi –sapaan akrab Jussy Rizal-, penenun sekaligus pendiri Dibyo Lurik, lurik adalah episode kesejarahan dalam hidupnya. Betapa tidak, ia sendiri adalah cucu dari H. Dibyo Sumarto, seorang tokoh desa yang memulai menenun lurik sejak tahun 1962.

- Poster Iklan -
H. Dibyo Sumarto didampingi istrinya, Hj. Sutidjah.
H. Dibyo Sumarto didampingi istrinya, Hj. Sutidjah.

Baginya, wajah masa lalu dan masa depan kakeknya. Sementara saya, mengenal lurik seperti tetangga lama yang tak pernah diajak bicara, namun sering dan bahkan pernah berinteraksi. Sepuluh tahun lalu, selama 45 hari saya berinteraksi dengan para penenun lurik, tanpa tahu apa yang sedang mereka kerjakan.

Menyusur Jejak Dibyo Lurik: Ekspedisi Kerajinan Tenun Yogyakarta
Menyusur Jejak Dibyo Lurik: Ekspedisi Kerajinan Tenun Yogyakarta

Saya menyebutnya ekspedisi yang bukan sekadar wisata kain. Sebuah perjalanan menyibak lapisan-lapisan makna yang teranyam rapi dalam setiap helai lurik. Setiap garis punya cerita. Setiap warna punya rasa. Dan, setiap tangan yang menenun membawa kisahnya sendiri.

Saya datang ke Dibyo Lurik bukan sebagai peneliti, bukan pula sebagai pembeli kain. Saya datang sebagai pendengar cerita dari seorang teman lama, Mas Jussy Rizal, Mas Agiel, dan Mas Danang Kurniawan. Ketiganya adalah pemuda padukuhan di Krapyak Wetan, Desa Panggungharjo, Yogyakarta. Sebagai orang yang ingin tahu bagaimana sehelai lurik bisa tetap hidup, di tengah gempuran kain pabrik dan gaya hidup instan. Saya ingin tahu bagaimana proses lahirnya sehelai kain bisa mengubah cara kita melihat dunia: lebih lambat, lebih dalam, lebih manusiawi.

Lurik bukan kain yang lahir dari ambisi. Ia lahir dari keseharian. Dari tangan-tangan penenun yang sabar, dari filosofi Jawa yang diam-diam dalam, dari keterbatasan yang justru melahirkan keindahan. Ia bukan kain untuk pamer, tapi kain untuk meresapi.

Di Yogyakarta, lurik bukan hanya komoditas. Ia adalah identitas. Ia mengikat sejarah dan harapan, antara masa lalu yang penuh makna dan masa depan yang mungkin lebih berwarna. Lurik menjadi saksi zaman, dari kejayaan keraton, penjajahan, hingga era digital saat ini. Garis-garisnya mencatat perubahan, tapi tak pernah kehilangan arah.

Ekspedisi ini bukan hanya soal kain. Ini soal visi anak muda padukuhan, mengunjungi akar, menelusuri kembali apa arti merawat, melestarikan, dan mencintai hal-hal yang perlahan dilupakan. Dan, saya percaya, siapa pun yang berjalan cukup dekat dengan lurik, akan menemukan bukan hanya warisan budaya—tapi juga jalan pulang menuju nilai-nilai yang mungkin telah kita tinggalkan: kesederhanaan, ketekunan, dan rasa hormat terhadap proses.

Sejarah Lurik Jogja: Benang, Simbol, dan Kekuasaan

Tak banyak orang tahu bahwa lurik, kain bergaris sederhana yang sering dianggap sebagai “seragam orang tua,” sesungguhnya memiliki akar sejarah yang panjang dan lapisan makna yang dalam. Di Jawa, terutama di wilayah Yogyakarta dan Surakarta, lurik bukan hanya busana harian, tetapi bagian dari ekspresi sosial, spiritual, bahkan politik.

Kata lurik berasal dari bahasa Jawa “larik” yang berarti garis atau baris. Dalam visualnya, lurik memang identik dengan garis-garis vertikal atau horizontal yang berpadu dalam warna-warna kontras. Tapi garis-garis itu bukan sembarang pola. Dalam tradisi Jawa, garis lurik dipercaya melambangkan kesederhanaan, ketekunan, dan keseimbangan hidup. Bahkan beberapa motif dianggap memiliki fungsi magis—melindungi si pemakai dari bala atau membawa keberkahan.

Di masa lalu, lurik dikenakan oleh berbagai lapisan masyarakat, dari rakyat jelata hingga abdi dalem keraton. Namun demikian, motif dan warna tertentu hanya boleh dikenakan oleh kalangan tertentu. Misalnya, motif ceplok, limaran, atau tumpal memiliki aturan tersendiri dalam konteks penggunaan budaya keraton. Di Keraton Yogyakarta dan Surakarta, lurik menjadi bagian penting dalam pakaian resmi untuk upacara dan kegiatan spiritual. Di sinilah kita melihat bagaimana sehelai kain bisa berbicara tentang kekuasaan dan tatanan sosial.

Pada masa kolonial, produksi lurik sempat mengalami tekanan. Kain tenun lokal harus bersaing dengan tekstil impor dari Belanda dan Inggris. Namun, para penenun Jawa tak menyerah. Mereka menyiasati bahan dan teknik, menggunakan pewarna alam seperti daun indigo, akar mengkudu, dan kulit kayu jati untuk menjaga warisan yang perlahan terancam hilang.

Kini, banyak generasi muda tak lagi mengenal lurik secara utuh. Yang tersisa hanya bayangan bahwa lurik adalah “kain tua.” Padahal, di balik setiap helai benang dan garis-garis itu, terajut sejarah panjang tentang bagaimana masyarakat Jawa membentuk, menjaga, dan mentransformasikan identitas mereka.

Tradisi Menenun: Tangan-tangan yang Menganyam Waktu

Pagi itu, saya tiba lebih awal dari yang dijanjikan. Di halaman Dibyo Lurik, suara “tek-tok” kayu sudah terdengar dari balik pintu rumah tenun. Saya masuk pelan-pelan dan menemukan seorang ibu paruh baya duduk bersila di depan alat tenun bukan mesin (ATBM), tubuhnya menyatu dengan ritme alat seperti orkestra mini yang tak memerlukan konduktor.
Mas Yusi bilang, “Saya meneruskan sanad dari kakek saya.” katanya sambil seruput kopi. “Ini bukan cuma kerja tangan, Mas. Ini kerja hati,” imbuh mas Yusi.

Menyusur Jejak Dibyo Lurik: Ekspedisi Kerajinan Tenun Yogyakarta
Menyusur Jejak Dibyo Lurik: Ekspedisi Kerajinan Tenun Yogyakarta

Di Jogja, tradisi menenun telah lama menjadi pekerjaan perempuan. Meski pernah dianggap kerja domestik yang tak menghasilkan banyak, bagi para penenun, tenun adalah warisan. Tiap gerakan mereka membawa serta ajaran tentang kesabaran, presisi, dan harmoni. Butuh waktu 2–3 hari, terkadang sampai 5 hari, untuk menyelesaikan satu helai lurik, tergantung kerumitan motif, metode pewarnaan, dan kombinasi warna.

Saya sempat mencoba duduk di alat tenun ATBM yang sama. Tangan saya kaku, kaki saya bingung harus menginjak pedal yang mana, dan hasilnya tentu tidak layak dilihat. Menenun ternyata bukan hanya soal teknik, tetapi irama. Seperti menari dengan mesin kayu, setiap gerakan harus sinkron, setiap benang harus tepat. Salah satu penenun muda, Mbak Sekar, mengatakan bahwa ia perlu waktu berbulan-bulan untuk bisa “berdialog” dengan alat tenun.

Yang menarik, meski teknologi semakin canggih, ATBM tetap menjadi pilihan utama. Mengapa tidak pakai mesin modern? “Karena rasa di lurik itu hilang kalau pakai mesin pabrik,” jawab Mas Yusi, pendiri Dibyo Lurik. “Tenun ATBM itu seperti sidik jari. Tak ada yang sama. Lurik tak lahir dari pabrik, tapi dari rumah-rumah kecil, tangan-tangan sabar, dan ketekunan yang tak bisa diburu-buru.” Dalam setiap pola, ada cerita. Dalam setiap garis, ada waktu yang ditarik dan disusun. Di tempat seperti Dibyo Lurik, semua itu masih bisa ditemukan—utuh dan hangat.

Dibyo Lurik: Visi, Ruang, dan Perlawanan Budaya

Begitu melangkah ke halaman belakang rumah tenun Dibyo Lurik, saya merasa seperti keluar dari waktu. Ruang itu tidak sibuk, tapi hidup. Aroma kayu tua, suara kain disusun, benang yang bergelantungan di tiang kayu, dan cahaya matahari yang menyelinap melalui kisi-kisi bambu menciptakan atmosfer yang hangat—dan jujur. Tak ada kilap pabrik. Tak ada mesin bising. Yang ada hanya tenunan waktu dan cinta.

Dibyo Lurik bukan sekadar bengkel kerja. Ia adalah rumah ide, tempat berbagai generasi belajar bahwa tenun adalah bahasa yang masih bisa berbicara, asal kita mau mendengarkan. Berdiri sejak tahun 2016, Dibyo Lurik didirikan oleh Mas Yusi sebagai “rumah produksi” yang lahir dari Lurik Kurnia, saat ini sudah dikelola oleh keluarga besar keturunan Mbah Dibyo Sumarto. Bagi Mas Yusi, tenun lurik tak boleh tinggal sejarah. “Waktu itu, lurik sudah dianggap punah. Yang bertahan hanya motifnya di kemeja-kemeja pabrik. Tapi siapa yang menenun? Siapa yang masih tahu cara hidup kain itu?” katanya saat kami duduk di pendapa sederhana.

Dari keresahan itulah, Mas Yusi menghidupkan kembali ATBM, mengundang para ibu-ibu tua yang masih bisa menenun, dan mulai membuka ruang belajar untuk anak muda. Kini, Dibyo Lurik menjadi salah satu simpul penting dalam gerakan budaya tenun kontemporer. Tapi jangan bayangkan ia seperti galeri seni modern. Semua masih sederhana, tetapi justru di situlah kekuatannya.

Lurik yang dihasilkan di sini tetap berpegang pada pola-pola tradisional, tetapi dengan warna-warna baru, paduan yang berani, dan teknik pewarnaan alam yang terus dikembangkan. Mereka menggunakan daun indigo untuk biru, akar mengkudu untuk merah, dan kulit jati untuk coklat gelap. Semua berbasis bahan lokal.

Yang menarik, Dibyo Lurik tak hanya menjual kain. Mereka juga menjual pengalaman. Anak-anak sekolah, mahasiswa seni, bahkan wisatawan asing datang untuk belajar menenun. Ada yang hanya sehari, ada pula yang tinggal sepekan.

Mereka diperkenalkan pada filosofi kain, sejarahnya, dan tentu saja, teknik menenun secara langsung. “Kami ingin menanamkan kesadaran bahwa lurik bukan hanya produk. Ia proses,” kata Mas Danang, salah satu afiliator dan seller. Lurik di Dibyo bukan hanya benang yang disusun. Ia adalah perlawanan terhadap budaya instan. Ia menolak dilupakan. Ia bersuara lewat kesabaran dan keberanian bertahan.

Ada satu momen yang tak saya lupakan selama ekspedisi ini: seorang penenun muda, berkata pelan, “Saya menenun karena saya ingin punya kisah. Teman-teman saya mungkin sibuk di ponsel, saya sibuk di benang. Tapi benang ini bercerita.”
Kalimat itu menempel dalam kepala saya hingga sekarang. Di tengah zaman yang serba cepat, menenun menjadi tindakan yang radikal. Ia mengajak kita melambat, menyentuh, mendengar, dan menyusun ulang kepekaan.

Bagi pemuda padukuhan, lurik bisa menjadi pintu untuk mengenal budaya tanpa harus merasa “terjebak di masa lalu.” Ia bisa menjadi simbol ekspresi, keberanian menjadi berbeda, dan daya cipta. Bagi seniman, lurik adalah kanvas hidup. Motifnya bisa diolah, dikolaborasikan, dibawa ke panggung teater, film, desain grafis, bahkan instalasi seni kontemporer. Bagi pemerintah, lurik adalah peluang kebijakan—dari pelestarian kearifan lokal hingga pemberdayaan ekonomi kreatif berbasis budaya.

Lurik tidak minta untuk dikultuskan. Ia hanya ingin dipahami. Ia adalah narasi sosial yang terbuat dari benang-benang kecil, dijalin oleh tangan-tangan yang sabar. Setiap helai kain adalah arsip yang tak tercatat di buku sejarah, tapi hidup di tubuh dan ruang.

Di tengah derasnya globalisasi dan digitalisasi, mungkin kita perlu bertanya ulang: apa yang masih bisa kita tenun hari ini? Apakah kita masih bisa menenun rasa memiliki, menenun ingatan kolektif, dan menenun harapan bersama?
Di Dibyo Lurik, jawabannya masih ada. Tenun itu nyata. Hidup. Dan, menunggu untuk diteruskan.

Mas Yusi: Lurik sebagai Jalan Pulang

Ketika saya pulang dari ekspedisi ini, saya membawa sehelai baju lurik dan lurik berwarna biru motif gerimis. Motifnya sederhana, tak ada yang istimewa di mata orang awam. Tapi bagi saya, kain itu adalah peta pulang. Peta menuju masa depan yang tahu menghargai masa lalu. Peta menuju kreativitas yang berakar, bukan terombang-ambing.

Lurik bukan hanya warisan. Ia adalah tindakan. Ia adalah kemungkinan. Dan siapa tahu, dari benang-benang ini, kita bisa menenun peradaban yang lebih peka dan bermakna.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here