Perempuan dan Musik di Era Jawa Kuno, Kesenangan ataukah Ritus? (sumber foto: nusantaranews)
Perempuan dan Musik di Era Jawa Kuno, Kesenangan ataukah Ritus? (sumber foto: nusantaranews)

Musik menjadi bagian tak terelakkan dari sejarah panjang umat manusia. Di masa prasejarah, musik yang diperoleh dari benda-benda alam, seperti alat batu, tulang, kayu, dan cangkang kerang tidak hanya menjadi simbol kesenangan dan ritual tertentu, tetapi juga menyiratkan bagaimana kehidupan di masa itu berlangsung.

Beberapa artefak membawakan kebenaran masa lalu. Termasuk perihal perempuan dan musiknya. Perempuan tidak hanya menunggui gua atau meramu di dalamnya. Perempuan pada masa itu juga telah eksis dalam berkesenian dan menjadi pelaku ritus. Relief Venus of Laussel, misalnya, pahatan perempuan telanjang bertubuh gemuk dengan tangan memegang alat musik dari tanduk hewan ini mengabarkan kepada kita banyak hal, termasuk bagaimana peran perempuan dalam seni dan ritual kepercayaan di masa itu.

Masa berkembang, pemikiran perempuan pun mengalami perkembangannya. Di masa Jawa Kuno, tepatnya saat pengaruh Hindu-Buddha di Nusantara mulai mendominasi, perempuan mulai memaknai musik dengan lebih. Terlebih, perempuan di era ini telah mengenal mata uang dan beberapa di antaranya telah pandai membaca.

Borobudur, Musik, dan Perempuan Pencari Nafkah

Candi Borobudur, salah satu candi yang memuat bagaimana perempuan memperlakukan musik. Pada panel-panelnya, Borobudur memahat perempuan yang tidak hanya sekadar iseng memainkan musik tetapi memiliki misi tersembunyi sewaktu memainkannya. Sebagaimana, cuplikan relief berikut ini:

- Poster Iklan -

“Dua orang perempuan muda, berjalan mengiringi tarian di depannya. Di tangannya, simbal mangkuk berdentum. Sedang orang-orang kaya itu tersenyum-senyum mendapat hiburan. Di antara kesenangan itu, seorang lelaki tua berjanggut menengadahkan tangan dan orang-orang kaya memberi dengan kasih.” 

Adegan tersebut, cukup mengabarkan kepada kita perihal perempuan yang bekerja sebagai seorang pemusik. Mungkin sebagai pemusik jalanan. Di panel lainnya, dipertunjukkan perempuan-perempuan yang memainkan simbal mangkuk dengan tanpa penonton. Ini menunjukkan, perempuan-perempuan itu sedang berlatih memainkan alat musik. Mungkin untuk pertunjukan berbayar.

Borobudur, Musik, dan Perempuan yang Mengukuhkan Hatinya pada Dewa

“Di surga, Sang Buddha berdiam diri. Sedang perempuan-perempuan di sekitarnya mulai melakukan pemujaan melalui musik sebagai hiburan. Satu perempuan meniup terompet, satunya lagi meniup suling, sedang yang lainnya membunyikan simbal mangkuk. Ketiganya, memainkan musik dengan niatan menghibur Sang Buddha, yang mungkin akan bernilai pahala.”

Melalui relief-relief yang memuat kesungguhan hati para perempuan dalam menghibur dewa sesembahannya, menunjukkan peran musik yang masih dihubungkan dengan ritual kepercayaan tertentu. Pada era ini, setidaknya masa Borobudur dibangun, musik masih terkait ritus dan pandangan perempuan terhadap musik masih sama. Meski sedikit mengalami pergeseran sebagai alat pencari nafkah.

Candi Jawi dan Bunyi-bunyian yang Mengawal Perempuan Pertapa

Mereka rombongan perempuan dengan atribut keagamaan melekat di sana-sini. Mereka hendak ke istana untuk melakukan laku puja. Di sana, mereka disambut dengan segala bunyi-bunyian, salah satunya terompet ganda. Mereka bukan pemusik, tetapi musik menemani hari-hari mereka. Setidaknya, dalam perjalanan mereka.

Di sini, musik ditujukan kepada perempuan yang dianggap dekat dengan dewa-nya. Penyambutan dengan bunyi-bunyian ini bukan sekadar sambutan biasa, yang tentunya tidak akan berlaku bagi rakyat biasa. Bunyi-bunyian ada sebagai salah satu ritus keagamaan, setidaknya sebagai pelekat.

Candi Panataran, Musik, dan Cinta yang Tak Pernah Tabu

Di Candi Panataran, perempuan digambarkan sebagai seorang pembelajar yang betul-betul gigih menuntut ilmu, meski di tengah-tengah hutan yang sunyi dan jauh dari keramaian. Perempuan bahkan rela menolak ajakan kekasihnya untuk kembali ke istana demi belajar di bawah kaki guru. Tak hanya ilmu keagamaan, perempuan juga diajari cara memainkan alat musik. 

Dalam relief terlihat seorang pendeta dengan sorban besar di kepala mengajari seorang pertapa perempuan muda cara bermain musik gamelan. Namun, lama-kelamaan sikap sang pendeta mulai berbeda, hendak melecehkan. Perempuan muda dengan pengetahuannya mencoba menolak dan menggagalkan usaha sang pendeta. 

Di relief lainnya, perempuan tersebut tampak bermesraan dengan kekasihnya di lingkungan pertapaan. Saya kemudian berpikir, “Apakah perempuan itu mampu mengekspresikan keinginannya? Ia betul-betul menjadikan tubuhnya sebagai miliknya.”

Di Candi Naga, Genta Tak Pernah Berhenti Berbunyi

Sembilan figur perempuan dengan atribut kerajaan, kukuh menyangga tubuh naga, sedang di tangannya genta tak sedikitpun dilepasnya. Dalam hening, genta-genta itu terdengar lirih. Mungkin hendak mengabarkan kisah lampau yang masih belum terlampaui jaman.

Dalam hening yang menjadi-jadi pula, saya berpikir, “Bagaimana eksistensi perempuan di masa eksistensi Candi Naga? Jelas, kesembilan figur tersebut menunjukkan adanya pemujaan yang berhubungan dengan Samudramanthana, kisah pengadukan samudra. 

Dengan genta di tangan, menunjukkan perempuan tak sekadar membunyi-bunyikan sesuatu. Namun, juga terlibat dalam hal ritual keagamaan. Setidaknya memiliki jabatan keagamaan. Menjadi pendeta, pertapa, atau mungkin biksuni. 

Lain Di Sana, Di Candi Gambar Wetan Perempuan Memeluk Musik dengan Tubuhnya

Saya terkejut, di Candi Gambar Wetan saya hendak mengesampingkan moral. Relief ini sungguh lain. Berani dan terbuka. Seorang perempuan bersama seorang pria bersorban usai bermain alat musik jenis gamelan, keduanya melangkah lebih jauh lagi. Membuat saya bertanya-tanya.

Saya lalu mencari-cari, adakah ritual tertentu yang dimaksudkan dalam relief tersebut. Mengingat Candi Gambar Wetan telah ada di masa Majapahit, tepatnya pada saat kepemimpinan Raja Hayam Wuruk. Saat-saat aliran tantra mulai menunjukkan kebebasannya. Sebagaimana kisah Calon Arang dengan ajaran tantrayana yang ditulis pada masa Majapahit (1462 Saka), meski bersetting cerita masa Raja Airlangga (1006-1042 M). 

Relief di Candi Gambar Wetan adalah perwujudan dari eksistensinya aliran tantra, terutama aliran tantra kiri dengan ritual keagamaannya yang dianggap berlebihan. Tiap-tiap kepercayaan memiliki ritual masing-masing dengan media yang berbeda-beda pula. Melalui relief tersebut, penganut aliran tantra kiri memulai ritualnya. Relief adalah sarana peribadatan mereka. Dengan musik dan perempuan sebagai penyempurna ritus.

Lalu, Kesenangan Ataukah Ritus?

Periode Jawa Kuno yang panjang, dari era Mataram Kuno hingga pengujung Majapahit, tentu melahirkan beragam kebudayaan, kepercayaan, dan pengetahuan yang dinamis. Mulanya, perempuan menganggap musik sebagai sarana pelengkap pemujaan, lalu berangsur-angsur berubah menjadi kebutuhan hidup dalam mencari nafkah. Meski beberapa di antaranya tetap menjadikan musik sebagai pelengkap suatu ritus. 

Di era Majapahit, terjadi pergeseran makna musik dalam pandangan perempuan. Musik tak hanya sekadar hiburan dan pelengkap pemujaan, musik ialah bagian penting dari suatu ritual kepercayaan tertentu. Melalui musik dan tubuhnya, perempuan memperoleh kedekatan ilahi dengan dewa yang dipujanya. 

Lalu, kesenangan ataukah ritus? Bagaimanapun, musik telah menjadi keduanya bagi perempuan, terutama di era Majapahit. Perempuan pemusik tidak lagi dipandang sebelah mata, merekalah bagian terpenting dari suatu ritual yang dipercayai. 

Ketika perekonomian meningkat dan pengetahuan bertambah, perempuan tidak lagi memikirkan hal lainnya, selain kedekatan terhadap ilahi. Mulanya, mereka bermain musik demi nafkah, sebagian sebagai pengetahuan dan pelengkap pemujaan. Perlahan, perempuan memahami makna musik dan bersatu dengan keilahian.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here